Halo guys! apa kabar? baik semua ? lama gak ketemu ya! Sekarang aku udah kelas 12 SMA. UN dan USBN sudah mendekat. Maka, ane ingin banget bisa menyelesaikan studi di SMA dan keterima PTN di Jogja.. Kali ini aku ingin menghibur sobat art dengan karangan cerita ane sendiri. Karangan ini pernah ane lombakan tapi gak menang :D jadi, aku upload aja ke blog ini. mungkin aja ada yang lagi kepingin baca cocok banget deh... Genre cerita : live, romance .. Selamat menikmati :D
Awan
tampak mendung penuh tangisan. Aku menanti kehadirannya sambil merebahkan badan
di kursi panjang. Berusaha meyakinkan diriku, untuk tetap menunggu di taman sekolah
dan bergumam “akankah dia datang atau ini hanya perasaanku?”. Pandanganku
semakin gelap, hingga akhirnya aku tertidur.
Telepon
genggamku bergetar. Seorang perempuan yang lama kunanti kini menelpon. Hawa
dingin menyelimuti diriku. Haruskah aku menerima panggilannya atau membiarkan
teleponku berhenti bergetar. Dengan perlahan, aku menerima panggilan Nittha.
“Hai”,
katanya.
“Iya”
jawabku.
“Maaf
aku tidak pergi ke taman sekolah” pinta Nitha.
“Iya,
gak papa kok nit.” Jawabku.
“inilah
jawabanku” jawab Nittha
***
Namaku adalah Randi, umurku 17
tahun. Aku bersekolah di SMAN 2 Sirup Jambu. Kisah cintaku dimulai ketika aku
duduk di bangku kelas 11. Kisah cinta pertama yang membuatku ingin
memperkenalkanmu pada makna cinta sesungguhnya.
Kelas sebelas merupakan wadah baru
bagiku. Banyak hal berganti. Mulai dari teman, suasana, serta beberapa guru pendidik
juga ikut berganti. Sepeti biasa, aku masih malu-malu untuk beradaptasi. Namun,
aku senang karena masih ada teman yang bisa kuajak ngobrol. Hans, sahabatku
sejak SD menemaniku duduk sebangku.
“Kita
memang serasi lho set.. hahaha.” sapa Hans sambil tertawa.
“iya
nih!” jawabku sambil bersalaman ala meksiko.
Hans
adalah anak yang tampan dan senang bergaul. Rambutnya lurus, kulitnya kuning, matanya
bulat dan wajahnya oval.
Hari Selasa, seorang murid baru menempati
bangku disebelahku.Nittha namanya. Saat itu, kupikir dia adalah anak yang
sombong. Dia jarang berkomunikasi, pandangan matanya tidak fokus terhadap lawan
bicaranya seolah-olah enggan untuk berbicara. Waktu pelajaran, istirahat, dia
selalu terdiam. Pernah aku bertanya,
“Hai,
kenapa kamu diam saja?”
“iya,
duh jangan perhatiin aku dong.” jawabnya dengan gugup.
“emangnya
kenapa?” Tanyaku.
Dia
tak membalas pertayaanku. Hingga akhirnya, aku mengerti, ia hanya gadis pendiam
dan pemalu. Ia perlu seorang teman yang bisa membuatnya bangkit dan tertawa. Sejak
itu, Hans dan aku mengajaknya bermain. Senyum dibibirnya mulai terlihat hingga
akhirnya dia tidak lagi pendiam, justru sebaliknya. Aku dan Hans merasa senang
bisa berteman dengan Nittha. Hingga akhirnya, aku merasakan sesuatu yang
berbeda. Nittha begitu spesial. Senyumannya terlihat semakin cantik. Mungkin
ini yang terjadi ketika seseorang sedang kasmaran.
Lambat laun, aku dan Nittha mengalami
kedekatan. Namun, kedekatan kami tidak berlangsung lama. Senja itu, Nittha menelponku
sambil menangis dan berkata “Aku benci dirimu dan surat kalengmu!”. Dengan
cepat ia menutup panggilannya. Jantungku seakan berhenti berdetak. “Sejak kapan
aku memberikan surat kaleng padanya?” batinku.
Keesokan harinya, aku merasakan ada
yang aneh saat ia menatapku di sekolah. Perasaan benci yang luar biasa kudapati
ketika melihat matanya. Sungguh, ada apa sebenarnya ini. Aku adalah orang yang tidak
pernah tenang ketika ada kejanggalan dalam hidupku. Berkali-kali kucoba untuk meminta
maaf pada Nittha. Namun, Ia malah menamparku dan berkata “aku kecewa”. Sungguh,
ini pengalaman pertama kalinya aku ditampar. Namun, aku tidak menyerah. Aku
berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kuputuskan untuk mencari
tahu alamat rumah Nittha dan memutuskan pergi kesana untuk meminta maaf sekali
lagi.
Sampai
di depan rumah Nittha, aku merasa kaget. Aku kira Nittha anak kaya raya yang
tinggal di sebuah perumahan mewah. Namun, dugaanku salah. Desa kecil dengan
mayoritas penduduk sebagai petani yang aku dapati. Ketika aku ingin mengetuk
pintu rumah Nittha, aku teringat ucapan Nittha tentang surat kaleng. Saat itu
juga aku melihat tempat sampah didekat pintu. Aku diam-diam memungut satu
persatu sampah kertas di tempat sampah depan rumahnya. ‘Secarik kertas berwarna
kuning’ itulah kertas pertama yang aku incar. Kemudian aku membuka kertas
tersebut. Kertas itu bertuliskan “Heh, gadis jelek! Kamu tahu, sejak pertama
kali aku mengenalmu, aku muak melihatmu! Pendiam, sombong, warga China lagi!
Kamu tidak perlu dekat dengan Hans dan aku lagi! Dasar gadis yatim piatu!”
Memang benar kertas itu mirip dengan tulisanku. Namun, bukan aku yang menulis
kertas tersebut!
Dari
jauh, seorang nenek sedang memperhatikan ulahku. Nenek tersebut tampak sangat
tua. Rambutnya panjang berwarna putih, umurnya mungkin lebih dari 80 tahun. Nenek
itu mendekatiku.
“Sedang apa nak?”tanyanya.
“Tidak ada kok nek.”Jawabku.
“apakah
kamu Seto?” tanyanya.
“kok
nenek tau?” jawabku dengan heran.
Batinku,
mungkin dia nenek Nittha. Nenek tersebut tidak menjawab pertanyaanku dan
langsung mengajakku pergi ke suatu tempat dekat sungai. Nenek mempersilahkanku
untuk masuk ke sebuah gubuk kecil. “Mungkin ada sesuatu yang penting.” Batinku.
“Seto,
bagaimana kabarmu?” tanya nenek itu.
“Aku
baik saja kok nek. Nenek ini siapa ya?” tanyaku.
“Aku
adalah nenek dari Nittha.” Katanya.
“Omong-omong,
kenapa nenek ingin menemuiku? Apa ada sesuatu yang ingin nenek sampaikan?”
tanyaku.
“Aku
ingin berbicara tentang Nittha, nak. Aku ingin dia menjadi anak yang seperti
dulu. Aku rasa kamu harus tahu hidup Nittha, nak”. Jawabnya. Aku berpikir
sejenak. Sebenarnya ada apa dengan Nittha dan mengapa nenek ini berbicara
seperti ini tiba-tiba.
“Apa
yang ingin nenek sampaikan padaku?” tanyaku. Nenek Nittha mulai bercerita
mengenai kisah hidup Nittha sambil
menghidangkan sebuah roti dan teh hangat.
Dari
yang aku dengar, Nittha dulunya adalah anak yang sangat periang. Dia sangat
mencintai kedua orangtuanya. Hal tersebut ia tunjukkan dengan prestasi. Suatu
ketika, berita duka memukul Nittha. Orangtuanya dikabarkan kecelakaan saat pergi
bekerja. Ayahnya meninggal dan ibunya dirawat di rumah sakit. Nittha sangat
sedih. Ia berjanji pada ibunya, bahwa ia akan mencari uang untuk biaya rawat
inap ibunya. Setiap hari, Nittha bekerja sebagai penjual roti ditemani oleh
tetangganya. Ia berjualan di sekolah dan lingkungan rumahnya. Nittha
benar-benar giat dan ikhlas demi kesembuhan ibunya.
Uang
sudah terkumpul. Dengan ceria ia pergi kerumah sakit membawa uang untuk ibunya.
Nittha sudah berandai-andai jika ibunya sudah sembuh, ia akan membelikan kue
favorit ibu. Seketika itu juga, kesedihan menghampirinya. Ibu Nittha telah
tiada. Nittha sangat sedih, ia menangis tersedu-sedu. Dia menjadi anak yang
kesepian, ia hidup sendiri, segala sesuatu ia kerjakan sendiri. Segala keuangan
terpaksa ia ambil dengan rekening orangtuanya. Namun, Nittha benar-benar tahu
bagaimana cara ia bertahan hidup dengan melanjutkan usaha roti.
Cerita nenek membuatku tidak bisa
berkata-kata. Nenek Nittha seakan memberi sugesti tanpa kata padaku. Aku sudah
tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berpamitan kepada nenek tersebut kemudian
pergi kerumah Nittha. Aku panggil namanya tiga kali namun tidak ada jawaban.
Mungkin, Nittha tahu bahwa itu suaraku dan Nittha sengaja tidak membukakan
pintu. Aku menulis sebuah surat dan menyelipkannya di kolong pintu rumah Nittha.
Surat itu berisi permohonan maaf dan perasaanku yang terpendam.
“Nit, aku hanya ingin kamu tahu.
Sesungguhnya aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku telah mengetahui isi
surat kaleng itu. Semua itu adalah orang lain Nit, aku tidak tahu siapa. Tapi,
aku benar-benar jujur akan hal ini. Tidak masalah jika kamu tidak memaafkanku.
Aku hanya ingin kamu tahu, aku mengerti kesusahanmu selama ini. Sekarang aku
tahu betapa sedihnya hidup sendiri. Nit, jika kamu mau, kamu bisa tinggal
dirumahku. Aku akan beritahu ibuku. Sehingga, kamu tidak lagi kesepian. Aku
juga ingin mencurahkan isi hatiku. Selama ini, aku mencintaimu nit. Aku harap
kamu mau menerima maaf dan cintaku. Aku tunggu jawabanmu besok di taman
sekolah, tempat kita selalu bertemu menikmati ayunan.”
***
Awan
tampak mendung penuh tangisan. Aku menanti kehadirannya sambil merebahkan badan
di kursi panjang. Berusaha meyakinkan diriku, untuk tetap menunggu di taman sekolah
dan berpikir “akankah dia datang atau ini hanya perasaanku?”. Pandanganku
semakin gelap, hingga akhirnya aku tertidur.
Telepon
genggamku bergetar. Seorang perempuan yang lama kunanti kini menelpon. Hawa
dingin menyelimuti diriku. Haruskah aku menerima panggilannya atau membiarkan
teleponku berhenti bergetar. Dengan perlahan, aku menerima panggilan Nittha.
“Hai”,
katanya.
“Iya”
jawabku.
“Maaf
aku tidak pergi ke taman sekolah” pinta Nittha.
“Iya,
gak papa kok Nit.” Jawabku.
“Inilah
jawabanku”. Nittha terdiam sejenak.
“ya”
lanjutnya.
Hatiku berbunga-bunga. Cintaku diterima. Nittha
juga memaafkan atas kejadian surat kaleng tersebut. Aku tahu, hatinya tak kuasa
menyimpan hinaan buruk seperti itu. Kemudian Nittha bertanya padaku tentang
bagaimana aku bisa tahu kisah tentang hidupnya. Aku pun menjawab bahwa nenek Nittha
sendiri yang mengatakannya.Nittha heran. Karena selama ini Nenek Nittha telah
meninggal sejak Nittha belum lahir. Hingga saat ini, misteri tentang surat itu
juga belum terpecahkan. Apakah ada
hubungan antara nenek Nittha dan surat itu? Jangan-jangan, ah sudahlah, mungkin
ini pertanda baik.
Delapan
tahun berlalu. Kami akhirnya menikah dan dikaruniai dua anak. Valenia merasakan
cinta luar biasa yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Aku ingin
mencintainya tanpa batas sampai Tuhan berkata “Ikutlah Aku.”
Cipt : Zakarias Seto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
| Give me the best opinion Dude |