Kamis, 23 Februari 2017

CINTA TAK MENGENAL KUOTA




Halo guys! apa kabar? baik semua ? lama gak ketemu ya! Sekarang aku udah kelas 12 SMA. UN dan USBN sudah mendekat. Maka, ane ingin banget bisa menyelesaikan studi di SMA dan keterima PTN di Jogja.. Kali ini aku ingin menghibur sobat art dengan karangan cerita ane sendiri. Karangan ini pernah ane lombakan tapi gak menang :D jadi, aku upload aja ke blog ini. mungkin aja ada yang lagi kepingin baca cocok banget deh... Genre cerita : live, romance .. Selamat menikmati :D

Awan tampak mendung penuh tangisan. Aku menanti kehadirannya sambil merebahkan badan di kursi panjang. Berusaha meyakinkan diriku, untuk tetap menunggu di taman sekolah dan bergumam “akankah dia datang atau ini hanya perasaanku?”. Pandanganku semakin gelap, hingga akhirnya aku tertidur.
Telepon genggamku bergetar. Seorang perempuan yang lama kunanti kini menelpon. Hawa dingin menyelimuti diriku. Haruskah aku menerima panggilannya atau membiarkan teleponku berhenti bergetar. Dengan perlahan, aku menerima panggilan Nittha.
“Hai”, katanya.
“Iya” jawabku.
“Maaf aku tidak pergi ke taman sekolah” pinta Nitha.
“Iya, gak papa kok nit.” Jawabku.
“inilah jawabanku” jawab Nittha
***
            Namaku adalah Randi, umurku 17 tahun. Aku bersekolah di SMAN 2 Sirup Jambu. Kisah cintaku dimulai ketika aku duduk di bangku kelas 11. Kisah cinta pertama yang membuatku ingin memperkenalkanmu pada makna cinta sesungguhnya.
            Kelas sebelas merupakan wadah baru bagiku. Banyak hal berganti. Mulai dari teman, suasana, serta beberapa guru pendidik juga ikut berganti. Sepeti biasa, aku masih malu-malu untuk beradaptasi. Namun, aku senang karena masih ada teman yang bisa kuajak ngobrol. Hans, sahabatku sejak SD menemaniku duduk sebangku.
“Kita memang serasi lho set.. hahaha.” sapa Hans sambil tertawa.
“iya nih!” jawabku sambil bersalaman ala meksiko.
Hans adalah anak yang tampan dan senang bergaul. Rambutnya lurus, kulitnya kuning, matanya bulat dan wajahnya oval.
            Hari Selasa, seorang murid baru menempati bangku disebelahku.Nittha namanya. Saat itu, kupikir dia adalah anak yang sombong. Dia jarang berkomunikasi, pandangan matanya tidak fokus terhadap lawan bicaranya seolah-olah enggan untuk berbicara. Waktu pelajaran, istirahat, dia selalu terdiam. Pernah aku bertanya,
“Hai, kenapa kamu diam saja?”
“iya, duh jangan perhatiin aku dong.” jawabnya dengan gugup.
“emangnya kenapa?” Tanyaku.
Dia tak membalas pertayaanku. Hingga akhirnya, aku mengerti, ia hanya gadis pendiam dan pemalu. Ia perlu seorang teman yang bisa membuatnya bangkit dan tertawa. Sejak itu, Hans dan aku mengajaknya bermain. Senyum dibibirnya mulai terlihat hingga akhirnya dia tidak lagi pendiam, justru sebaliknya. Aku dan Hans merasa senang bisa berteman dengan Nittha. Hingga akhirnya, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Nittha begitu spesial. Senyumannya terlihat semakin cantik. Mungkin ini yang terjadi ketika seseorang sedang kasmaran.
            Lambat laun, aku dan Nittha mengalami kedekatan. Namun, kedekatan kami tidak berlangsung lama. Senja itu, Nittha menelponku sambil menangis dan berkata “Aku benci dirimu dan surat kalengmu!”. Dengan cepat ia menutup panggilannya. Jantungku seakan berhenti berdetak. “Sejak kapan aku memberikan surat kaleng padanya?” batinku.
            Keesokan harinya, aku merasakan ada yang aneh saat ia menatapku di sekolah. Perasaan benci yang luar biasa kudapati ketika melihat matanya. Sungguh, ada apa sebenarnya ini. Aku adalah orang yang tidak pernah tenang ketika ada kejanggalan dalam hidupku. Berkali-kali kucoba untuk meminta maaf pada Nittha. Namun, Ia malah menamparku dan berkata “aku kecewa”. Sungguh, ini pengalaman pertama kalinya aku ditampar. Namun, aku tidak menyerah. Aku berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kuputuskan untuk mencari tahu alamat rumah Nittha dan memutuskan pergi kesana untuk meminta maaf sekali lagi.
Sampai di depan rumah Nittha, aku merasa kaget. Aku kira Nittha anak kaya raya yang tinggal di sebuah perumahan mewah. Namun, dugaanku salah. Desa kecil dengan mayoritas penduduk sebagai petani yang aku dapati. Ketika aku ingin mengetuk pintu rumah Nittha, aku teringat ucapan Nittha tentang surat kaleng. Saat itu juga aku melihat tempat sampah didekat pintu. Aku diam-diam memungut satu persatu sampah kertas di tempat sampah depan rumahnya. ‘Secarik kertas berwarna kuning’ itulah kertas pertama yang aku incar. Kemudian aku membuka kertas tersebut. Kertas itu bertuliskan “Heh, gadis jelek! Kamu tahu, sejak pertama kali aku mengenalmu, aku muak melihatmu! Pendiam, sombong, warga China lagi! Kamu tidak perlu dekat dengan Hans dan aku lagi! Dasar gadis yatim piatu!” Memang benar kertas itu mirip dengan tulisanku. Namun, bukan aku yang menulis kertas tersebut!


Dari jauh, seorang nenek sedang memperhatikan ulahku. Nenek tersebut tampak sangat tua. Rambutnya panjang berwarna putih, umurnya mungkin lebih dari 80 tahun. Nenek itu mendekatiku.
 “Sedang apa nak?”tanyanya.
 “Tidak ada kok nek.”Jawabku.
“apakah kamu Seto?” tanyanya.
“kok nenek tau?” jawabku dengan heran.
Batinku, mungkin dia nenek Nittha. Nenek tersebut tidak menjawab pertanyaanku dan langsung mengajakku pergi ke suatu tempat dekat sungai. Nenek mempersilahkanku untuk masuk ke sebuah gubuk kecil. “Mungkin ada sesuatu yang penting.” Batinku.
“Seto, bagaimana kabarmu?” tanya nenek itu.
“Aku baik saja kok nek. Nenek ini siapa ya?” tanyaku.
“Aku adalah nenek dari Nittha.” Katanya.
“Omong-omong, kenapa nenek ingin menemuiku? Apa ada sesuatu yang ingin nenek sampaikan?” tanyaku.
“Aku ingin berbicara tentang Nittha, nak. Aku ingin dia menjadi anak yang seperti dulu. Aku rasa kamu harus tahu hidup Nittha, nak”. Jawabnya. Aku berpikir sejenak. Sebenarnya ada apa dengan Nittha dan mengapa nenek ini berbicara seperti ini tiba-tiba.
“Apa yang ingin nenek sampaikan padaku?” tanyaku. Nenek Nittha mulai bercerita mengenai   kisah hidup Nittha sambil menghidangkan sebuah roti dan teh hangat.
Dari yang aku dengar, Nittha dulunya adalah anak yang sangat periang. Dia sangat mencintai kedua orangtuanya. Hal tersebut ia tunjukkan dengan prestasi. Suatu ketika, berita duka memukul Nittha. Orangtuanya dikabarkan kecelakaan saat pergi bekerja. Ayahnya meninggal dan ibunya dirawat di rumah sakit. Nittha sangat sedih. Ia berjanji pada ibunya, bahwa ia akan mencari uang untuk biaya rawat inap ibunya. Setiap hari, Nittha bekerja sebagai penjual roti ditemani oleh tetangganya. Ia berjualan di sekolah dan lingkungan rumahnya. Nittha benar-benar giat dan ikhlas demi kesembuhan ibunya.
Uang sudah terkumpul. Dengan ceria ia pergi kerumah sakit membawa uang untuk ibunya. Nittha sudah berandai-andai jika ibunya sudah sembuh, ia akan membelikan kue favorit ibu. Seketika itu juga, kesedihan menghampirinya. Ibu Nittha telah tiada. Nittha sangat sedih, ia menangis tersedu-sedu. Dia menjadi anak yang kesepian, ia hidup sendiri, segala sesuatu ia kerjakan sendiri. Segala keuangan terpaksa ia ambil dengan rekening orangtuanya. Namun, Nittha benar-benar tahu bagaimana cara ia bertahan hidup dengan melanjutkan usaha roti.
            Cerita nenek membuatku tidak bisa berkata-kata. Nenek Nittha seakan memberi sugesti tanpa kata padaku. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berpamitan kepada nenek tersebut kemudian pergi kerumah Nittha. Aku panggil namanya tiga kali namun tidak ada jawaban. Mungkin, Nittha tahu bahwa itu suaraku dan Nittha sengaja tidak membukakan pintu. Aku menulis sebuah surat dan menyelipkannya di kolong pintu rumah Nittha. Surat itu berisi permohonan maaf dan perasaanku yang terpendam.
            “Nit, aku hanya ingin kamu tahu. Sesungguhnya aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku telah mengetahui isi surat kaleng itu. Semua itu adalah orang lain Nit, aku tidak tahu siapa. Tapi, aku benar-benar jujur akan hal ini. Tidak masalah jika kamu tidak memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu, aku mengerti kesusahanmu selama ini. Sekarang aku tahu betapa sedihnya hidup sendiri. Nit, jika kamu mau, kamu bisa tinggal dirumahku. Aku akan beritahu ibuku. Sehingga, kamu tidak lagi kesepian. Aku juga ingin mencurahkan isi hatiku. Selama ini, aku mencintaimu nit. Aku harap kamu mau menerima maaf dan cintaku. Aku tunggu jawabanmu besok di taman sekolah, tempat kita selalu bertemu menikmati ayunan.”

***
Awan tampak mendung penuh tangisan. Aku menanti kehadirannya sambil merebahkan badan di kursi panjang. Berusaha meyakinkan diriku, untuk tetap menunggu di taman sekolah dan berpikir “akankah dia datang atau ini hanya perasaanku?”. Pandanganku semakin gelap, hingga akhirnya aku tertidur.
Telepon genggamku bergetar. Seorang perempuan yang lama kunanti kini menelpon. Hawa dingin menyelimuti diriku. Haruskah aku menerima panggilannya atau membiarkan teleponku berhenti bergetar. Dengan perlahan, aku menerima panggilan Nittha.
“Hai”, katanya.
“Iya” jawabku.
“Maaf aku tidak pergi ke taman sekolah” pinta Nittha.
“Iya, gak papa kok Nit.” Jawabku.
“Inilah jawabanku”. Nittha terdiam sejenak.
“ya” lanjutnya.
 Hatiku berbunga-bunga. Cintaku diterima. Nittha juga memaafkan atas kejadian surat kaleng tersebut. Aku tahu, hatinya tak kuasa menyimpan hinaan buruk seperti itu. Kemudian Nittha bertanya padaku tentang bagaimana aku bisa tahu kisah tentang hidupnya. Aku pun menjawab bahwa nenek Nittha sendiri yang mengatakannya.Nittha heran. Karena selama ini Nenek Nittha telah meninggal sejak Nittha belum lahir. Hingga saat ini, misteri tentang surat itu juga belum terpecahkan. Apakah  ada hubungan antara nenek Nittha dan surat itu? Jangan-jangan, ah sudahlah, mungkin ini pertanda baik.
Delapan tahun berlalu. Kami akhirnya menikah dan dikaruniai dua anak. Valenia merasakan cinta luar biasa yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Aku ingin mencintainya tanpa batas sampai Tuhan berkata “Ikutlah Aku.”

Cipt : Zakarias Seto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

| Give me the best opinion Dude |