Senin, 29 Maret 2021

Alasanku Mengurangi Bermedia Sosial dan Game online (This is Why I'm Restrict From Social Media and Game Online)

Sumber: Klik

Hallo semua, gimana kabarmu ? semoga sehat selalu pengunjung setia blogku maupun yang sedang blog-walking disini ya. hehehe. Jadi, aku ingin cerita alasan mengapa aku mengurangi penggunaan beberapa sosial media sekarang ini. Banyak temanku bilang "loe masih hidup gak si?" beberapa juga bilang "apa medsos lu di retas orang?", dan aku bilang aja terus terang bahwa aku muak bermedia sosial dan mengurangi penggunaannya, bahkan menghapus semua foto di beberapa media sosialku. Ambil aja sisi positif tulisanku yang mungkin relate dengan pemikiran kalian ya, karena pemikiran orang-orang kan beda-beda hehehe. Cerita ini kumulai dari munculnya sosmed di kehidupan zaman SD-ku sampai aku udah masuk jenjang kuliah ya.. agak panjang sih, semoga enjoy.!

Bagiku, sosial media memiliki tahap yang hampir mirip dengan konsep yang dikemukakan oleh Doxey tentang irritation index yaitu euphoria, apathy, annoyance, antagonism. Sebenarnya, Doxey ini konsepnya tentang pariwisata, tapi aku cocokologi dengan media sosial yaa..

1. Euphoria : fase pertama dimana netizen mulai tertarik dengan media sosial

2. Apathy : Netizen mulai terbiasa dengan sosial media

3. Annoyance : Beberapa netizen mulai terganggu dengan adanya sosmed 

4. Antagonism : Media sosial mulai bar-bar, share berita-berita negatif dan tidak bermanfaat secara dominan

Sumber: klik


 Sedihnya, media sosial ini merupakan perkembangan zaman yang sangat luas namun tidak diawasi dan tidak diberi regulasi secara tegas oleh pemerintah sehingga banyak orang mem-posting konten-konten yang tidak mendidik dan mostly konsumennya adalah kaum millenial. DAMN IT bro!! dan sekarang, bagiku media sosial berada di fase iritattion.

Saat aku masih SD nih (tahun 2007-2012) pergaulanku sangat baik. Teman-temanku bahkan 90% tahu sopan santun, tahu kalimat yang baik dan benar yang harus diucapkan, dan menganggap tabu perbuatan tercela, yah layaknya anak-anak polos pada umumnya. Lalu, pada tahun antara aku kelas 6 SD menuju SMP, lagi populer-populernya youtuber dari "surabaya". Kita tahu konten youtuber "surabaya" ini, emang lucu dan pasarnya kaum milenial di jamannya. Namun, ada satu hal yang membuat pikiranku janggal saat itu, yaitu ketika dia mem-populerkan kata "jancok". Kita semua tahu, di jaman kita kecil kata jancok merupakan salah satu kata yang gak boleh diucapkan. Bahkan, orangtua kita akan menggampar kita jika mengucapkan kata itu. Namun, gak tau kenapa sekarang kata jancok mulai ditoleransi oleh semua kalangan masyarakat. Yang aku takutkan adalah ketika banyak orang mengucapkan kata itu dan dilihat banyak orang termasuk didengar anak kecil, dan kata itu merasuk di pikiran anak, maka secara tidak sengaja, bisa saja anak iseng menirukan perkataan jancok dan menyebarkan kata tersebut kedalam semua lini pergaulan sehingga layakya virus. Berawal dari iseng ngomong jancok, dilanjut kata kasar yang lain kemudian disebarkan ke teman-teman, dan semua membiasakan untuk ngomong jancok. BAHAYA! karena menurutku perkataan ini awal dari hancurnya jati diri sebagai orang Indonesia yang "katanya" bermoral dan itu tertanam dalam mindsetku.

Saking populernya kata jancok, pergaulan yang awalnya 90% baik menurutku, mulai luntur. Teman-teman SMP mulai biasa berkata jancok dan mengembangkan kata-kata kasarnya ke jenjang yang lebih tinggi. Ajaran-ajaran dari guru BK untuk bersikap baik, ramah, tidak boleh kata kasar/kotor terasa mulai menjadi bualan semata. Lantas, aku semakin bingung kenapa bisa gini teman-temanku sekarang ya? akhirnya aku sering menjadi orang pendiam karena kata-kata yang dituturkan oleh guruku telah melekat dan membentuk kepribadianku. Ditambah, kedua orangtuaku adalah guru agama. Tentu, apa yang diajarkan mereka sangat bertolak belakang dengan pergaulan masa kini. And i'm stuck with it untill now. 

Dari SMP sampe aku kuliah semester 8 sekarang, banyak influencer yang gak tau malu mengucap kata kotor di internet maupun youtube. Dan ini yang menurutku sangat memprihatinkan. Influencer yang dicap masyarakat luas sebagai "panutan" dalam gaya bergaul, mengucap kata-kata kotor yang akhirnya membuat follower / penontonya mengikuti gaya mereka. "Kalao sekelas orang ini aja ngucapin kata kotor, yah ngapain gw gak? daripada munafik" itulah pemikiran yang timbul dari masyarakat. Dan please dong influencer jangan kasi kesempatan masyarakat untuk mengikuti gaya lu. Ketika lu ngomong kotor please ingetin follower lu untuk tidak mengikuti lu. Sebetulnya aku lebih setuju dengan sistemnya televisi yang udah masuk filterisasi sehingga yang tayang sudah layak sebagai bahan konsumsi masyarakat, meskipun pada beberapa kasus masih luput dari kesalahan.

Ketika mengetik tulisan ini, aku tau pasti ada yang bilang "sok suci lo". But, i don't care anymore. Kata itu sudah sering memukulku bahkan sejak SMP. Aku memang manusia berdosa gak luput dari kesalahan kok, tapi aku selalu berusaha untuk never spread it out to be common topic. Bahkan, saking udah toxicnya pergaulan sekarang, sepertinya aku juga harus bisa menyesuaikan supaya ga diem-diem doang yang akhirnya berujung diremehkan orang. It's pretty damn for me. Di satu sisi aku tidak ingin toxic karena itu berlawanan prinsipku, disatu sisi pergaulan diluar sini makin lama banyak toxicnya.. hfft

Sampai saat ini kalian pasti tau kan bahwa media sosial dan influencer merupakan salah satu wadah yang memberi dampak kepada pengikut-pengikutnya? bagaimana dong dengan nasib moral GENERASI PENERUS? youtube, tiktok, dan lain sebagainya saat ini tidak mendapatkan filter content yang baik, sehingga influencer/content creator terus berkarya terlalu bebas tanpa memperhitungkan "batas kebebaasan berekspresi".

Dan ini adalah bukti bahwa kebiasaan ngomong toxic yang dianggap enteng dan tidak ada tindakan pencegahan oleh Pemerintah bisa berakibat fatal bagi generasi bangsa sekaligus menjadi alasan mengapa aku mengurangi bermedos dan unfollow media-media yang mulai menyeleweng. Jadi gini... >>> 

1. Kalian tau kan kalau Indonesia diberi label "Negara dengan masyarakat tidak sopan" oleh Microsoft dirisetnya berjudul "Digital Civility Index"? Jangan anggap enteng! kebiasaan komen negatif di media online bisa berpengaruh ke kehidupan nyata. Bahayanya, citra dan fakta bahwa Indonesia yang dikenal dengan masyarakat yang ramah akan musnah.

2. Media dengan follower banyak bombardir konten tidak bermanfaat, padahal jika media mau memberitakan banyak kabar positif, banyak orang juga akan terdorong untuk positif. Disinilah aku tau bahwa media itu banyak yang bodo amat dengan filter.. Fitur komentarnya gak dinonaktifkan sehingga anak-anak muda diberi kesempatan untuk pansos dan talking shit.

3. Komentar toxic di Media Sosial dan tidak respect sama orang lain. Contohnya di akun instagram demi.demik dan beberapa komentar negatif terhadap pecatur Levy Rozman dan GM Irene Sukandar.

4. Banyak orang buta batas "kebebasan berekspresi" tanpa memikirkan dampaknya. EGOIS!

5. Yakin tiktok, Snack video tidak menggerus kepribadian positif anak muda secara perlahan?

6. Game online: non professional multiplayer Toxic bisa menciptakan kepribadian anak yang kasar, konsumtif, dan jauh dari berkarya. Okelah, mungkin berkarya dibidang konten kreator tapi saking banyaknya konten kreator, bidang lain g ada yang menekuni karena menagnggap konten kreator satu2nya jalan penyambung hidup

7. Netizen gampang percaya Hoax dan minim pengetahuan serta tata krama


So, this is why aku mengurangi bahkan menghapus medsosku terutama instagram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

| Give me the best opinion Dude |